Minggu, 09 November 2014

Masjid Agung Kota Magelang, namanya sangat familier, begitu pula bentuknya. Letaknya yang berada tepat di jantung Kota Magelang menjadikan masjid ini terlihat jelas ketika kita berada dan melintas di kawasan alun-alun Kota Gethuk ini. Namun mungkin tidak begitu banyak orang yang tahu sejarah berdiri, dan cerita-cerita yang ada di pusat peribadatan muslim Magelang ini.
Masjid ini adalah salah satu saksi sejarah pergantian era kepimpinan dari masa ke masa,mulai dari Kolonial Belanda, Jepang dan era pasca kemerdekaan. Tidak banyak memang sumber yang bisa mendeskripsikan mengenai sejarah bangunan ini. Dari beberapa informasi baik itu yang tertuang dalam buku kuno peninggalan Belanda maupun saksi sejarah, kita berusaha mencari tahu mengenai sejarah berdirinya masjid ini.
Menurut salah seorang saksi sejarah yang juga ketua takmir masjid kauman, H Djauhari. Masjid tersebut didirikan sekitar tahun 1650 oleh seorang tokoh ulama dari Jawa Timur KH Mudakir (dimakamkan di belakang masjid). Pada awal berdirinya bangunan tersebut belum semegah sekarang, hanya berbentuk musala kecil kalau orang dahulu menyebutnya langgar. Pertama berdiri fasitasnya pun sangat terbatas, disana belum disediakan tempat wudhu. Hal ini dikarenakan pada masa itu Kota Magelang belum bisa teraliri air. Jamaah dan masyarakat yang akan salat disana mengambil air wudhu di Sungai Progo yang jaraknya sekitar 1 km dari langgar tersebut.
“Baru tahun 1779 ada sumur didekat masjid dan bisa digunakan untuk wudhu,” ujar H Djauhari yang juga pensiunan pegawai Telkom ini.
Baru pada tahun 1797 bangunan tersebut mengalami pemugaran. Pemugaran dilakukan dengan menambah mimbar untuk khotbah dan tiang (soko) guru yang terbuat dari kayu jati yang didatangkan dari Bojonegoro. Pemugaran ini tertera dalam prasasti yang ditulis dengan dua bahasa yaitu bahasa Arab dan Belanda, hingga sekarang prasasti tersebut terawat dengan baik dan berada di dalam masjid.
Menurut buku berbahasa Belanda yang disarikan oleh salah seorang pemerhati kota toea yang juga kandidat Doktor Tehnik arsitektur dan perencanaan Universitas Gadjah Mada, Wahyu Utami.  Bupati Magelang pertama yaitu RA Danoeningrat I, tahun 1810 membangun langgar tersebut menjadi sebuah masjid. Walaupun dibuat menggunakan arsitektur Belanda namun bangunan itu masih belum berbentuk sekarang. Nantinya masjid ini masih mengalami pemugaran hingga berbentuk megah seperti yang dilihat saat ini.
Pada masa pemeritahan Bupati Magelang ke II yaitu RAA Danoeningrat II, tahun 1835 bangunan ini mengalami pemugaran. Pergantian pemerintahan, bupati ke III yaitu RAA Danoeningrat III masjid yang berdiri di atas lahan seluas 3200 meter persegi ini pun kembali mengalami pemugaran. Tepatnya tahun 1871 dimasjid ini ditambah serambi muka dan menara kecil di depan masjid (bukan menara seperti sekarang). Seperti pendahulunya bupati ke IV yaitu Danoekoesoemo juga kembali menambah beberapa bagian masjid.
Baru pada masa pemerintahan Bupati ke V yaitu RAA Danoesoegondo masjid ini mengalami pemugaran besar-besaran yang dilakukan pada tahun 1934. Untuk pemugaran tersebut, bupati ke V juga bertindak sebagai ketua pembangunan menggunakan bantuan biro arsitek berkebangsaan Belanda yaitu Heer H Pluyter. Pemugaran tersebut menghasilkan bangunan masjid seperti yang terlihat sekarang (minus menara di depan masjid).
Ditambahkan H Djauhari pada tahun 1991 pada masa wali kota dipegang oleh Bagus Panuntun didirikan menara dengan ketinggian 24 meter dan tempat wudhu pria dan wanita serta teras depan sehingga bangunan tersebut nampak persis seperti yang kita lihat sekarang.
Kamp Pejuang Kemerdekaan.
Pada masa perang kemerdekaan, masjid ini juga menjadi salah satu saksi sejarah. Masjid ini sempat dijadikan markas tentara rakyat yang akan berperang dengan Belanda. Pada masa Klas pertama yang terjadi pada sekitar tahun 1947 masjid ini dijadikan persinggahan tentara rakyat yang berasal dari Surabaya dan Madura.
Tentara dari berbagai daerah tersebut akan menuju Parakan untuk meminta senjata dan doa dari seorang ulama yang bernama Kyai Subechi. Dari Magelang mereka naik kereta menuju Parakan. Untuk mencukupi logistic tentara, didirikan dapur umum yang berada di Kampung Kejuron, Kelurahan Cacaban Kecamatan Magelang Tengah.
“Saat itu saya berumur 12 tahun, dan masih ingat persisnya seperti apa. Daerah sekitar masjid merupakan basisnya pejuang kemerdekaan,” terang bapak 5 orang anak ini.
Pada saat terjadi klas kedua yaitu tahun 1948, masjid ini sempat mengalami kerusakan pada bagian atap dan tembok sebelah utara. Kerusakan ini diakibatkan serangan tentara Belanda dan tentara bayaran Ghurka. Masjid yang dijadikan maskar tentara perjuangan ini dibombardir dengan maksud untuk menghancurkan pejuang kemerdekaan.
Kiblat
Kiblat Masjid ini merupakan salah satu dari 3 masjid di Jawa Tengah yang mempunyai kiblat lurus dengan Mekah, dua masjid lainnya adalah masjid di Grobogan dan Masjid Agung Jawa Tengah. Walau sudah berulang kali mengalami pemugaran kiblat masjid ini tidak pernah dirubah sejak pertama didirikan oleh KH Mudakir.
Pada saat didirikan oleh bupati pertama, kepengurusan dilakukan oleh bidang kepenghuluan. Setelah Departemen Agama (Depag) berdiri sekitar tahun 1945 masjid ini dikelola oleh Depag. Baru pada tahun 1960 terbentuk kepengurusan takmir masjid.
Setelah terbentuk kepengurusan takmir masjid, kegiatan keagamaan kian tertata dan maju. Salah satu tradisi yang masih terjaga hingga sekarang adalah pahingan yang dilakukan selapan (36 hari) pada hari Minggu pahing. Kegiatan ini dilakukan mulai tahun 1967, jamaah yang datang pun bukan hanya dari Kota Magelang melainkan dari luar kota. (Bhekti Wira Utama).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar